Jumat, 31 Desember 2010

Askep Diare pada Anak

A. Konsep Dasar Medik
1. Pengertian
Hipocrates mendefenisikan diare sebagai pengeluaran tinja yang tidak normal dan cair.
Diare adalah buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya. Neonatus dinyatakan diare bila frekuensi buang air besar sudah lebih dari empat kali, sedangkan untuk bayi berumur lebih dari satu bulan dan anak, bila frekuensinya lebih dari tiga kali (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, 1998).
Diare adalah keadaan frekwensi buang air besar lebih dari empat kali pada bayi dan lebih tiga kali pada anak ; konsistensi faeces encer, dapat berwarna hijau, atau dapat pula bercampur lendir dan darah atau lendir saja (Ngastiyah, 1997).
Diare adalah defekasi yang tidak normal baik frekuensi maupun konsistensinya, diare lebih dari tiga kali sehari (Mansjoer Arief, dkk, 2000).
Dari beberapa uraian diatas, penulis mengambil kesimpulan bahwa “Diare adalah buang air besar (BAB) yang tidak normal, berbentuk tinja cair disertai lendir atau darah atau lendir saja, frekuensi lebih tiga kali pada bayi dan lebih empat kali pada neonatus.
2. Etiologi
Adapun penyebab diare (Ngastiyah, (1997), dapat dibagi dalam beberapa faktor :
a). Faktor infeksi
1). Infeksi enteral
Infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab utama diare pada anak, meliputi infeksi enteral sebagai berikut :
a.) Infeksi bakteri : Vibrio, E. Coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas.
b.) Infeksi virus ; Enterovirus (Virus Echo, Cosakie, Poliomyelitis, Adenovirus, Rotatovirus, Astrovirus).
c.) Infeksi parasit ; Cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris Strongiloideus). Protozoa (Entamoeba histolitica, Giardia Lamblia, Trichomonas Honimis), Jamur : Candida Albicans.

2). Infeksi parenteral
Infeksi diluar alat pencernaan, seperti otitis media akut (OMA), tonsilitis/tonsilofaringitis, Bronkopneumonia, Ensefalitis, Keadaan ini terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah 2 tahun.
b). Faktor malabsorbsi
1). Malabsorbsi karbohidrat; disakarida (intoleransi laktosa, maltosa, dan sukrosa). Pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering intoleransi laktosa.
2). Malabsorbsi lemak
3). Malabsorbsi protein
c). Faktor makanan ; makanan beracun, basi, alergi makanan.
d). Faktor psikologi : rasa takut/cemas.

3. Patofisiologi
Sebagai akibat diare baik akut maupun kronik akan terjadi :
a). Kehilangan cairan dan elektrolit (terjadi dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan keseimbangan asam basa (asidosis metabolik, hipokalemia)
b). Gangguan keseimbangan asam basah (metabolik asidosis).
c). Hypoglikemia.
d). Gangguan gizi.
e). Gangguan sirkulasi (Suharyono, dkk, 1999).

4. Gambaran klinik
Mula-mula bayi dan anak menjadi cengeng, gelisah, suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada kemudian timbul diare. Tinja cair dan mungkin disertai darah dan lendir . Warna tinja lama kelamaan menjadi kehijau-hijauan karena bercampur dengan empedu.anus dan daerah sekitarnya lecet karena seringnya defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai akibat makin banyaknya asam laktat yang berasal dari laktosa yang tidak dapat dibasorbsi khusus selama diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung yang turut meradang atau akibat gangguan asam basa dan elektrolit. Bila penderita telah kehilangan banyak cairan dan elektrolit, maka gejala dehidrasi mulai tampak. Berat badan turun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering.
Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang dapat dibagi menjadi dehidrasi ringan sedang dan berat.
Dibawah ini cara menentukan tingkatan dehidrasi, menurut WHO derajat dehidrasi dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu :
a. Dehidrasi ringan : BB turun  5%
b. Dehidrasi sedang : BB turun 8 %
c. Dehidrasi berat : BB turun > 10 %

5. Komplikasi
Akibat diare, kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak dapat terjadi berbagai komplikasi sebagai berikut:
a). Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, perubahan EKG).
b). Renjatan hipovolemik.
c). Hipokalemia (hipotoni otot, lemah, bradikardi, perubahan EKG).
d). Hipoglikemia.
e). Intolerance sekunder akibat kerusakan vili mukosa usus dan defesiensi enzim laktase.
f). Kejang terjadi pada dehidrasi hipertonik.
g). Malnutrisi energi protein akibat muntah dan diare jika lama atau kronik.

6. Pencegahan
Mengingat bahwa penularan penyakit ini melalui 4 F “Finger, Feces, Food, dan Fly”, maka penyuluhan yang penting adalah :
a). Kebersihan perorangan pada anak, mencuci tangan sebelum makan dan setiap habis bermain memakai alas kaki jika bermain di tanah.
b). Membiasakan anak buang air besar di jamban dan jamban harus selalu bersih agar tidak ada lalat.
c). Kebersihan lingkungan untuk menghindarkan adanya lalat.
d). Makanan harus selalu tertutup.
e). Kepada anak yang sudah dapat membeli makanan sendiri agar diajarkan untuk tidak membeli makanan yang dijajakan terbuka.
f). Air minum harus selalu dimasak. Bila sedang berjangkit penyakit diare selain air harus yang bersih juga perlu dimasak mendidih lebih lama.
(Ngastiyah, 1997).

7. Penanganan
Dasar pengobatan diare :
a). Pemberian cairan : jenis cairan, cairan peroral, cairan parenteral.
b). Dietetik (cara pemberian makanan).
c). Pemberian obat-obatan.
1). Pemberian cairan pada pasien diare dengan memperhatikan derajat dehidrasinya dan keadaan umum klien.
a.) Cairan peroral : Diare dengan dehidrasi ringan, sedang.
Pada pasien dengan dehidrasi ringan dan sedang cairan diberikan peroral berupa cairan yang berisikan NaCl dan NaHCO3, KCl dan glukosa. Untuk diare akut dan kolera pada anak diatas umur 6 bulan kadar natrium 90 mEq/L. pada anak dibawah umur 6 bulan dengan dehidrasi ringan/sedang kadar natrium 50 –60 mEq/L. formula lengkap sering disebut oralit. Cairan sederhana yang dapat dibuat sendiri (Formula tidak lengkap) hanya mengandung garam dan gula (NaCl dan sukrosa), atau air tajin yang diberi garam dan gula, untuk pengobatan sementara dirumah sebelum dibawa berobat ke rumah sakit/pelayanan kesehatan untuk mencegah dehidrasi lebih jauh.

b.) Cairan parenteral
Sebenarnya ada beberapa jenis cairan yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan pasien misalnya untuk bayi atau pasien yang MEP.
Tetapi semuanya itu tergantung tersedianya cairan setempat. Pada umumnya cairan Ringer Laktat selalu tersedia di fasilitas kesehatan dimana saja. Mengenai pemberian cairan seberapa banyak yang diberikan bergantung dari berat ringannya dehidrasi yang diperhitungkan dengan kehilangan cairan sesuai dengan umur dan berat badannya.
Cara memberikan cairan :
(1.) Belum ada dehidrasi
• Peroral sampai anak masih mau minum atau 1 gelas setiap defekasi.
(2.) Dehidrasi ringan
• 1 jam pertama : 25-50 ml/kg BB peroral
• selanjutnya : 125 ml/kg ad. Libitum.
(3.) Dehidrasi sedang
• 1 jam pertama : 50-100 ml/kg peroral/intra gastric (sonde).
• Selanjutnya : 125 ml/kg BB/hari ad. Libitum.
(4.) Dehidrasi berat
• Untuk anak berumur 1 bulan sampai 2 tahun, BB : 3-10 kg 1 jam pertama : 40 ml/kg BB/jam = 10 tetes/kg BB/menit. (set infus berukuran 1 ml = 15 tetes) atau 13 tetes//kg BB/menit (set infus 1 ml = 20 tetes).
7 jam berikutnya : ml/kg BB/jam = 3 tetes/kg BB/menit (set infus 1 ml = 15 tetes) atau 4 tetes/kg/menit (set infus 1 ml = 20 tetes). 16 jam berikutnya : 125 ml/kg BB oralit peroral atau intragastrik.
• Untuk anak umur 2-5 tahun dengan berat badan 10-15 kg.
1 jam pertama : 30 ml/kg BB/jam atau 18 tetes/kg BB/menit (1 ml = 15 tetes) atau 10 tetes/kg BB/menit (1 ml = 20 tetes).
16 jam berikutnya 125 ml/kg BB oralit peroral atau intragastrik, bila anak tidak tidak mau minum dapat diteruskan dengan DG aa intra vena 2 tetes/kg BB/menit (1 ml = 15 tetes) atau 3 tetes/kg BB/menit (1 ml = 20 tetes)
• Untuk anak umur 5-10 tahun dengan berat badan 15-25 kg.
1 jam pertama : 20 tetes /kg BB/jam atau 5 tetes/kg BB/menit (1 ml = 15 tetes) atau 7 tetes/kg BB/menit (1 ml = 20 tetes).
7 jam berikut : 10 ml/kg BB/ jam atau 2 ½ tetes/kg BB/menit (1 ml = 15 tetes) atau 3 tetes/kg BB/menit (1 ml = 20 tetes).
16 jam berikutnya 105 ml/kg BB oralit peroral atau bila anak tidak mau minum dapat diberikan DG aa intravena 1 tetes/kg BB/menit.(1 ml = 15 tetes) atau 1 ½ tetes/kg BB/menit ( 1 ml = 20 tetes).
• Untuk bayi yang baru lahir neonatus dengan BB : 2-3 kg.
Kebutuhan cairan : 125 ml + 100 ml + 25 ml = 250 ml/kg BB/24 jam.
Jenis cairan, cairan 4 : 1 (4 bagian gukosa 5 % + 1 bagian NaHCO3 1 ½ %)
4 jam pertama : 25 ml/kg BB/jam atau 6 tetes/kg BB/menit (1 ml = 15 tetes) atau 8 tetes/kg BB/menit (1 ml = 20 tetes).
20 jam berikutnya 150 ml/kg BB/20 jam atau 2 tetes/kg BB/menit (1 ml = 15 tetes) atau 2 ½ tetes/kg BB/menit (1 ml = 20 tetes).
• Untuk BBLR dengan berat badan kurang 2 kg kebutuhan cairan : 250 ml/kg BB/24 jam.
Jenis cairan : 4 : 1
• Kecepatan cairan : sama dengan pada bayi baru lahir.
• Cairan untuk MEP sedang dan berat dengan dehidrasi berat.
Misalnya anak umur 1 bulan - 2 tahun dengan berat badan 3–10 kg.
Jenis cairan DG aa dan jumlah cairan 250 ml/kg BB/24 jam.
Kecepatan :
4 jam pertama : 60 ml/kg BB/jam atau 15 ml/kg BB/jam atau 4 tetes/kg BB/menit (1 ml = 15 tetes) atau 5 tetes/kg BB/menit (1 ml = 20 tetes).

2). Penanganan dietetik
Untuk anak di bawah satu tahun dan anak di atas satu tahun dengan berat badan kurang dari 7 kg jenis makanannya :
a.) Susu (ASI atau susu formula yang rendah laktosa, dan rendah asam lemak tidak jenuh, misalnya LLM, Elmiron).
b.) Makanan setengah padat (bubur) atau makanan padat (nasi tim) bila anak tidak mau minum susu.
c.) Susu khusus yang disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan misalnya susu rendah laktosa atau asam lemak yang berantai sedang atau tidak jenuh.
3). Pemberian obat-obatan
Prinsip pengobatan diare adalah menggunakan cairan yang hilang melalui tinja atau dengan muntah dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa.
a.) Obat anti sekresi.
(1.) Asetosal, dosis 25 mg/tahun dengan dosis minimum 30 mg.
(2.) Klorpromasin, dosis 0,5-1 mg/kg BB/hari.
b.) Obat antibiotik, diberikan bila perlu saja dan sudah ada penyakit yang jelas.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan dilakukan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan untuk meningkatkan, mencegah, dan memulihkan kesehatan melalui empat tahap proses keperawatan yang terdiri dari : pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi yang masing-masing berkesinambungan serta memerlukan kecakapan keterampilan profesional tenaga keperawatan.
1. Pengkajian data
Pengkajian merupakan tahap awal dan merupakan dasar proses keperawatan, diperlukan pengkajian yang cermat untuk masalah klien. agar dapat memberi arah kepada tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat tergantung pada kecermatan dan ketelitian dalam tahap pengkajian.
Tahap pengkajian terdiri dari empat tahapan yaitu : a. pengumpulan data, b. klasifikasi data, c. analisa data, d. rumusan diagnosa keperawatan.
Data yang perlu dikumpulkan pada anak dengan diare adalah sebagai berikut :
a. Pengumpulan data (Talbot. Laura, 1997).
1.) Keluhan utama dan riwayat keluhan utama.
2.) Riwayat kesehatan sekarang : keadaan umum, kesadaran, tanda vital.
3.) Riwayat kesehatan yang lalu.
- Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.
- Riwayat nutrisi dan riwayat pemberian imunisasi.
4.) Kebutuhan dasar
a). Nutrisi
- Kebiasaan : pola makan, frekuensi, jenis.
- Perubahan setelah di rumah sakit
b). Istirahat / tidur
- Kebiasaan : waktu tidur malam, tidur siang
- Perubahan setelah sakit
c). Hygiene
- Kebiasaan : Mandi, cuci rambut, gosok gigi.
- Perubahan setelah sakit
d). Eliminasi
• BAK
- Kebiasaan : frekuensi, warna, bau.
- Perubahan setelah sakit
• BAB
- Kebiasaan : frekuensi, warna, konsistensi.
- Perubahan setelah sakit.
b. Pemeriksaan fisik
a). Keadaan umum : Tingkat kesadaran, rewel atau tidak, lemah/tidak.
b). Tanda-tanda vital : Tensi, nadi, suhu, pernafasan.
c). Kepala/wajah
1). Ubun-ubun cekung/tidak menutup atau belum
2). Mata cekung/tidak
3). Selaput lendir mulut kering atau tidak

d). Sistem pernafasan
1). Frekuensi pernafasan
e). Sistem kardiovaskuler
1). Denyut nadi
2). Bunyi jantung I/II
3). Suhu badan
4). Tekanan darah
f). Sistem pencernaan
1). Persitaltik usus
2). Mual, muntah
g). Sistem muskuloskeletal
1). Ekstremitas atas/bawah : keadaan akral, capillary revill, kekuatan otot, kemampuan gerak sendi (ROM).
h). Genitalia dan anus
1). Genitalia
- Apakah ada kelainan atau tidak
2). Anus
- Keadaan kulit pada sekitar anus : kemerahan/lecet
i). Sistem integumen
1). Turgor kulit
2). Warna kulit
3). Keadaan kulit pada bokong
j). Status sosial
1). Keadaan rumah dan lingkungan
2). Status rumah
3). Kebanjiran tidak pada musim hujan.
4). Jumlah serumah
k). Keadaan psikologis orang tua
1). Tingkat pengetahuan orang tua
2). Alasan orang tua membawa anaknya ke rumah sakit
3). Perasaan orang tua terhadap keadaan anaknya.
4). Harapan orang tua/keluarga terhadap keadaan anaknya.
5). Informasi yang telah diterima/didapatkan oleh orang tua/keluarga tentang penyakit anaknya.
l). Pemeriksaan penunjang
Untuk kasus diare biasanya dilakukan pemeriksaan penunjang :
1). Usapan dubur, untuk biakan kuman, biasanya ditemukan E. Coli, Shygella, selain biakan kuman usapan dubur berfungsi untuk mendeteksi apakah klien ada intoleransi terhadap makanan lemak atau karbohidrat.
2). Pemeriksaan darah rutin : Hb, leukosit, eritrosit, trombosit, biasanya terjadi leukositosis bila diare disebabkan infeksi kuman.
3). Analisa gas darah untuk mengetahui tingkan asidosis akibat dehidrasi.
4). Kimia darah : untuk mengetahui tingkat elektrolit dalam darah, biasanya kalium dan natrium di bawah normal.
5). Pemeriksaan urinalisa : kepekatan dan berat jenis urine, meningkat 1,025.
6). Pemeriksaan EKG.
c. Klasifikasi data
Setelah data dikumpulkan, langkah selanjutnya adalah pengklasifikasian data yang didapatkan, ke dalam data subyektif dan data obyektif.
d. Analisa data
Dengan melihat data subyektif dan data obyektif dapat menentukan permasalahan yang dihadapi oleh klien dan dengan memperhatikan patofisiologi mengenai penyebab dari penyakit diare sampai permasalahannya tersebut.
e. Rumusan diagnosa keperawatan
Adapun kemungkinan diagnosa keperawatan pada klien diare, baik aktual maupun potensial adalah sebagai berikut :
1.) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan diare.
2.) Perubahan ketidaknyamanan yang berhubungan dengan kram abdomen, diare dan muntah terhadap dilatasi vaskuler.
3.) Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat dan output yang berlebihan.
4.) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan diare berlebihan.
5.) Kecemasan keluarga berhubungan dengan perubahan status kesehatan anaknya.
6.) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh.

2. Perencanaan tindakan keperawatan/intervensi.
Adapun rencana keperawatan pada diare dengan dehidrasi sedang, berat adalah sebagai berikut :
a). Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan diare.
• Tujuan :
Status cairan kembali batas normal, dengan kriteria : nilai elektrolit dalam batas normal, tidak ada penurunan berat badan, menyangkut kelemahan, tidak ada diare, kulit kenyal.
• Intervensi
1.) Pantau tanda dan gejala dehidrasi.
a.) Kulit dan membran mukosa kering.
b.) Kenaikan berat jenis urine.
c.) Haus.
2.) Pantau masukan dan haluaran dengan cermat.
3.) Pantau ketidakseimbangan cairan.
4.) Hindari pengukuran suhu perektal atau memasukkan apapun kerektal.
5.) Berikan cairan sering dan dalam jumlah kecil untuk mendorong urinasi terjadi setiap 2 jam.
a.) Air daging.
b.) Minuman ringan bikarbonat.
c.) Minuman suplemen elektrolit.
d.) Jus apel.
6.) Berikan obat anti emetik parenteral sesuai pesanan.
7.) Timbang berat badan klien tiap hari.

b). Perubahan ketidaknyamanan yang berhubungan dengan kram abdomen, diare dan muntah terhadap dilatasi vaskuler dan hiperperistaltik.

• Tujuan :
Rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria :
1). Perut teraba lemah.
2). Peristaltik usus normal (5 – 16 x/menit).
3). Tidak ada mual dan muntah.
• Intervensi :
1.) Dorong klien untuk berbaring dalam posisi terlentang dengan bantalan penghangat di atas abdomen.
2.) Dorong masukan jumlah kecil dan sering dari cairan (misal : teh encer, air jahe, agar-agar, air) 30 – 60 ml setiap ½ - 1 jam.
3.) Instruksikan klien untuk tidak mengkonsumsi :
a.) Cairan panas atau dingin.
b.) Makanan yang mengandung lemak atau serabut (susu, buah).
c.) Kafein/makanan pedis.
4.) Lindungi area perianal dan iritasi.

c). Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat dan output yang berlebihan.
• Tujuan :
Kebutuhan nutrisi cukup, dengan kriteria BB naik, anak mau makan.
• Intervensi :
1.) Beri susu rendah laktosa penuh.
Rasional :
Gizi yang baik pada anak ditunjukkan naiknya berat badan.
2.) Beri HE tentang manfaat gizi seimbang.
3.) Kolaborasi pemberian obat roborantia.

d). Gangguan integritas kulit berhubungan dengan diare.
• Tujuan :
Kulit perineal mengalami pemulihan gizi dengan kriteria warna kulit perineal sama dengan warna sekitarnya dan tidak terjadi lecet serta kemerahan.
• Intervensi :
1.) Intruksikan keluarga klien untuk membersihkan area perineal dengan air hangat setiap defekasi.
2.) Keringkan area perineal kemudian usap dengan tissu, berikan pelindung kulit (salep, krim desitin) pada daerah perineal.
3.) Instruksikan pada keluarga klien untuk menggunakan pakaian dari bahan katun bukan nilon.
4.) Hindari pemberian bedak pada area perineal.

e). Kecemasan keluarga berhubungan dengan ancaman terhadap perubahan status kesehatan anak.
• Tujuan :
Kecemasan berkurang dengan kriteria : ada pemahaman keluarga terhadap penyakit klien, wajah tampak tenang.
• Intervensi :
1.) Beri kesempatan keluarga untuk mengemukakan perasaannya.
2.) Gunakan pendekatan tenang, menenangkan bila memberi informasi. Beri dorongan untuk bertanya.
3.) Jelaskan semua tindakan yang diprogramkan dan pemeriksaan diagnostik.

f). Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh.
• Tujuan
Tidak ada manifestasi infeksi dengan kriteria ; suhu 37 0C, SDP 5000 – 10.000/mm3, jaringan perineal utuh.
• Intervensi :
1.) Pantau suhu tubuh tiap empat jam.
2.) Berikan antibiotik yang diprogramkan dan evaluasi keefektivannya
3.) Gunakan kewaspadaan umum tehnik mencuci tangan yang baik sebelum dan sesudah kontak dengan klien, dan bersihkan area peritoneal keseluruhan setelah toileting.

Sabtu, 11 Desember 2010

ASKEP Obstruksi Saluran Napas pada Anak

Udara masuk secara berurutan melalui :
1. Lubang hidung – rongga hidung (cavum Nasi ).
2. Pharynx – faring
3. Larynx – laring
4. Trachea – trakea
5. Bronchus – bronkus
6. Bronchiole – bronchiole
7. Alveoli.

A. Pengertian
Obstruksi jalan napas atas adalah gangguan yang menimbulkan penyumbatan pada saluran pernapasan bagian atas. Beberapa gangguan yang merupakan obstruksi pada jalan napas atas, diantaranya adalah :
a. Obstruksi Nasal
a) Merupakan tersumbatnya perjalanan udara melalui nostril oleh deviasi septum nasi, hipertrofi tulang torbinat / tekanan polip yang dapat mengakibatkan episode nasofaringitis infeksi.
Obstruksi pada nasal meliputi:
 Tumor hidung
Yaitu pertumbuhan sel yang abnormal sebagai akibat radang pada hidung.
Ada 2 jenis tumor, yaitu:
 Tumor jinak, biasanya terjadi di kavum nasi dan sinus paranasal.
 Tumor ganas, sering ditemukan di papiloma.

 Karsinoma Nasofaring
Merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi difosa rosenmuller dan atap nasofaring dan merupakan tumor di daerah leher.

 Polip Hidung
Merupakan masa lunak, berwarna puth, keabu-abuan yang terdapat di dalam ringga hidung, paling sering berasal dari sinus etmoid, multipel dan bilateral.

b. Obstruksi Laring
Adalah adanya penyumbatan pada ruang sempit pita suara yang berupa pembengkakan membran mukosa laring, dapat menutup jalan dengan rapat mengarah pada astiksia.
Salah satu penyakit obstruksi laring, yaitu :
a) Abses peritonsil (Quinsy)
Yaitu kumpulan nnah yang terbentuk di dalam ruang peritonsial.

B. Etiologi
a. Obstruksi Nasal
a) Tumor hidung
 Idiopatik (belum diketahui)

b) Karsinoma Nasofaring
 Virus Epstein Barr
 Faktor rass
 Letak geografis
 Jenis kelamin : laki-laki > wanita
 Faktor lingkungan (iritasi bahan kimia, kebiasaan memasak dengan bahan/bumbu masakan tertentu, asap sejenis kayu tertentu).
 Faktor genetik

c) Polip hidung
 Akibat reaksi hipersensitif / reaksi alergi pada mukosa hidung

b. Obstruksi Laring
a) Abses Peritonsil (Quinsy)
 Disebabkan oleh kuman streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes.
 Kuman aerob dan anaerob

C. Patofisiologi
a. Obstruksi Nasal
a) Tumor hidung
Tumor hidung dapat diketahui bersama-sama dengan polip nasi dan cenderung kambuh. Mempunyai kecenderungan untuk timbul bersama tumor hidung sel skuamosa maligna, lebih sering timbul di dinding lateral hidung dan dapat pula menyebabkan obstruksi saluran pernapasan hidung, perdarahan intermiten atau keduanya.
b) Karsinoma Nasofaring
Agen penyebab masuk ke saluran napas atas dan mengiritasi epitoliuma yang terdapat pada dinding mukosa nasofaring sampai berulserasi dan terinfeksi, menyebabkan pertumbuhan jaringan baru yang dapat bersifat ganas yang dapat menyebabkan obstruksi saluran pernapasan bagian atas. Menyebabkan pertukaran O2 di dalam tubuh terhambat, sehingga pemenuhan kebutuhan O2 tidak adekuat. Selain itu, karsinoma nasofaring bisa bermetastase ke jaringan / organ tubuh lain.

c) Polip Hidung
Akibat reaksi alergi pada mukosa hidung, menyebabkan mukosa hidung membengkak dan terisi banyak cairan interseluler, sehingga sel menjadi radang kemudian terdorong ke dalam rongga hidung oleh gaya berat dan akan menekan jaringan saraf, pembuluh darah dan kelenjar pada hidung. Sehingga terbentuklah masa yang mengandung jaringan saraf pembuluh darah yang rusak, yang dapat menimbulkan sumbatan hidung yang menetap dan rinorea serta terjadinya hiposmig/anemia, sehingga mengakibatkan klien terlihat bersin-bersin dan terjadinya iritasi di hidung.

b. Obstruksi Laring
Laring merupakan kotak kaku dan mengandung ruangan sempit antara pita suara (glotis), dimana udara harus melewati ruang ini. Adanya pembengkakan membran mukosa larings dapat menutupi jalan ini yang menjadi penyebab kematian.
a) Abses Peritonial (Quinsy)
Proses infeksi yang disebabkan oleh kuman penyebab tonsilitis di dalam ruang peritonsil akan mengalami supurasi (proses terbentuknya nanah karena bakteri piogen, lalu menembus kapsul tonsil dan menjalar serta menginfeksi di sekitar gigi, ke spatium parafaringium dan pembuluh darah yang dapat menyebabkan sepsis).

D. Manifestasi
a. Obstruksi Nasal
a) Tumor Hidung
Secara makroskopi mirip dengan polip hidung, hanya lebih keras, padat dan tidak mengkilat. Ada dua jenis, yaitu aksolitik dan andolitik (papiloma inversi) yang terakhir bersifat sangat invasif, dapat merusak tulang dan jaringan lunak sekitarnya diduga dapat berubah menjadi ganas.

b) Karsinoma Nasofaring
 Gejalanya dibagi dalam 4 kelompok, yaitu:
 Gejala nasofaring sendiri, berupa epistaksis ringan,pilek / sumbatan hidung.
 Gejala telinga, berupa tinitus, rasa tidak nyaman sampai nyeri di telinga.
 Gejala saraf, berupa gangguan saraf otak seperti diplopia, parestesia di daerah pipi, neurolgia trigeminal, parasis / paralisis arkus faring, kelumpuhan otot bahu dan sering tersedak.
 Gejala / metastatis di leher, berupa benjolan di leher.

c) Polip Hidung
 Sumbatan hidung yang menetap dan rinorea.
 Dapat terjadi hiposmig / anosmia
 Bersin
 Iritasi di hidung
 Pembengakkan mukosa dari mukosa hidung di luar sinus.
 Masa berupa berwarna putih seperti agar-agar.
 Bila ditusuk tidak memberikan rasa sakit dan tidak berdarah.

b. Obstruksi Laring
 Hipersalivasi
 Suara sengau
 Kadang-kadang sulit membuka mulut
 Pembengkakan
 Nyeri tekan pada kelenjar submandibular
 Palatum mole pembengkakan
 Teraba fruktuasi
 Tonsil bengakak

Abses Peritonsil (Quinsy)
 Demam tinggi
 Leukositosis
 Nyeri tenggorokan
 Otalgia
 Nyeri menelan
 Muntah
 Mulut berbau
 Hiperemis

E. Pemeriksaan Penunjang
a. Obstruksi Nasal
a) Tumor hidung dan karsinoma
 Naso endoskopi : untuk menemukan tumor dini
 CT Scan : perluasan tumor dan destruksi tulang
 MRI : membedakan jaringan tumor dari jaringan normal
 Pemeriksaan Radiologik konvensional : tampak masa jaringan lunak di daerah nasofaring.
 Tomografi komputer : terlihat adanya simetri dari resesus lateratif, tonus tubarius dan dinding posterior nasofaring.
 Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal, dll : untuk memastikan adanya tumor, mendeteksi kekambuhan / untuk mendeteksi secara dini tumor.

b) Polip Hidung
 Rinoskopi anterior → terlihat adanya polip
 Endoskopi → terlihat polip yang masih sangat kecil dan belum keluar kom. dapat terlihat.
 Rontgen polos (CT Scan) → mendeteksi adanya simetrif
 Biopsi → penampakan makroskopis menyerupai keganasan / bila pada foto rontgen ada gambaran erosi tulang.

c) Abses Peritonsil
Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh jaringan, karena trismus-palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak / detritus dan terdorong ke arah tengah, depan dan bawah.

F. Komplikasi
a. Obstruksi Nasal
a) Tumor hidung
Tidak dapat bermetastasis, tetapi sangat destruktif disekitarnya dapat menyebarmemenuhi nasofaring dan terlihat dari orofaring.

b) Karsinoma Nasofaring
Metastasis jauh ke tulang, hati dan paru dengan gejala khas, nyeri pada tulang, batuk-batuk dan gangguan fungsi hati.

c) Polip Hidung
Terjadinya pertautan endotel yang terbuka, menandakan kebocoran pembuluh darah.

b. Obstruksi Larings
a) Abses Peritonsial (Quinsy)
 Abses parafaringeal
 Abses retrofaringeal dan edema larings
 Dehidrasi perdarahan
 Aspirasi paru
 Mediastinitis
 Trambus sinus kavernosus
 Meningitis dan abses otak

G. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
a) Obstrusi Nasal
 Tumor hidung
 Pembedahan luas, bila ada yang tertinggi dapat residif.
 Radiasi dapat mengecilkan tumor, tapi tidak dianjurkan karena bisa dapat menjadikan ganas.

b) Karsinoma Nasofaring
 Radio terapi
 Dilakukan diseksi leher
 Pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi vaksin dan anti virus.
 Kemoterapi dengan kombinasi sis-platinum.

c) Polip hidung
 Tindakan konservatif dengan kortikosteroid sistemik atau oral, misal Prednison 50 mg/hari
 Secara lokal disuntikan ke dalam polip, misal Triamsinolon asetonis / prednisolon 0,5 mg tiap 5-7 hari.
 Secara topikal sebagai semprot hidung, misal Beklometason dipropionah
 Dilakukan ekstraksi polip dengan senar.
 Operasi etmoidektomi intranasal dan ekstranasal.



d) Obstruksi Laring
 Abses peritonsial (Quinsy)
 Pada stadium infiltrasi, tindakan yang dilakukan :
 Berikan antibiotik dosis tinggi (penisilin 600.000 – 1.200.000 unit, ampisilin, dll)
 Berikan analgesik, antipirotik (parasetamol 3x250 . 500 mg)
 Anjurkan berkumur dengan antiseptik / air hangat dan kompres dengan air hangat bila telah terbentuk abses, perlu dilakukan insisi abses sebagai berikut :
 Insisi pada pertemuan garis horizontal melalui vulva dengan garis vertikal melalui arkus faringeus. Luka insisi dilebarkan dengan klem,nanah dihisap dengan baik supaya tidak masuk ke faring, sebelum insisi dapat diberikan anestesia dengan spray silokain 1 % / anastesi blok pada ganglion stenoplatinum.
 Setelah selesai, lakukan berkumur dengan larutan bargarisma khan atau larutan betadin / larutan peroksid 3% atau larutan PK 0,001 %

b. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan secara umum adalah
a) Posisikan klien dengan posisi semi fowler
b) Ajarkan tehnik relaksasi dan distraksi
c) Berikan makanan dalam bentuk lunak
d) Ciptakan lingkungan yang konduktif
e) Berikan dukungan pada pasien
f) Lakukan perawatan luka dengan kumur antiseptik.

H. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d bronkospasme
 Tujuan: mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi bersih dan jelas
 Intervensi:
 Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, ex: mengi
 Kaji/pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi
 Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distress pernafasan, penggunaan obat
 Tempatkan klie pada posisi yang nyaman. Contoh: meninggikan kepala TT, duduk pada sandaran TT
 Pertahankan polusi lingkungan minimum. Contoh: debu, asap,dll
 Tingkatkan masukan cairan sampai dengan 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung, memberikan air hangat.
 Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat sesuai indikasi.

b. Gangguan pertukaran gas b.d gangguan suplai oksigen
 Tujuan: perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat
 Intervensi:
 Kaji/awasi secara rutin keadaan kulit klien dan membran mukosa
 Awasi tanda vital dan irama jantung
 Kolaborasi: .berikan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi hasil AGDA dan toleransi klien
 Sianosis mungkin perifer atau sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia
 Penurunan getaran vibrasi diduga adanya penggumpalan cairan/udara
 Takikardi, disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik.

c. Cemas pada orang tua dan anak b.d penyakit yang dialami anak
 Tujuan: menurunkan kecemasan pada orang tua dan anak
 Intervensi untuk orang tua:
 Berikan ketenangan pada orang tua
 Memberikan rasa nyaman
 Mendorong keluarga dengan memberikan pengertian dan informasi
 Mendorong keluarga untuk terlibat dalam perawatan anaknya
 Konsultasi dengan tim medis untuk mengetahui kondisi anaknya.


 Intervensi untuk anak:
 Bina hubungan saling percaya
 Mengurangi perpisahan dengan orang tuanya
 Mendorong untuk mengekspresikan perasaannya
 Melibatkan anak dalam bermain
 Siapkan anak untuk menghadapi pengalaman baru, misal: pprosedur tindakan
 Memberikan rasa nyaman
 Mendorong keluarga dengan memberikan pengertian informasi.

d. Risiko tinggi koping keluarga tidak efektif b.d tidak terpenuhinya kebutuhan psikososial orang tua
 Tujuan: koping keluarga kembali efektif
 Intervensi:
 Buat hubungan dengan orang tua yang mendorong mereka mengungkapkan kesulitan
 Berikan informasi pada orang tua tentang perkembangan anak
 Berikan bimbingan antisipasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan
 Tekankan pentingnya sistem pendukung
 Anjurkan orang tua untuk menyediakan waktu sesuai kebutuhan
 Bantu orang tua untuk merujuk pada ahli penyakit
 Informasikan kepada orang tua tentang pelayanan yang tersedia di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Bets, Cecily Lynn, dkk. 2009. Buku Saku Keperewatan Pediatrik, Edisi 5. Jakarta: EGC.
Capernito, Lynda J. 2009. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis, Edisi 9. Jakarta: EGC.
Doenges, Marilynn C, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk Perencanaa dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3. Jakarta: EGC.
http://library.usu.ac.id/download/fk/keperawatan-dudut2.pdf (diakses pada tanggal 24 November 2010.
http://viethanurse.wordpress.com/2009/02/25/asuhan-keperawatan-anak-dengan-asma-bronchial/ (diakses pada tanggal 24 November 2010.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Mubin, A. Halim. 2010. Panduan Praktis Kedaruratan Penyakit Dalam, Diagnosis & Terapi. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Pernapasa. Jakarta: Salemba Medika.

Askep Asma Bronchial pada Anak

A. Pengertian
Asma bronchial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversibel dimana trakheobronkhial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu.
Asma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trachea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangandengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan.

B. Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma bronkhial.
a) Faktor Predisposisi
a. Genetik
Yang diturunkan adalah bakat alergi meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus.

b) Faktor Presipitasi
a. Alergen
Alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
 Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan. Contoh: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri, dan polusi.
 Ingestan, yang masuk melalui mulut. Contoh: makanan dan obat-obatan
 Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Contoh: perhiasan, logam, dan jam tangan.
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin, serbuk bunga, dan debu.

c. Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus asma dan memperberat serangan asma yang sudah ada. Penderita diberikan motivasi untuk menyelesaikan masalah pribadinya karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.

d. Olah raga/aktivitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita akan mendapat serangan juka melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat.lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.

C. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu:
a) Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergi yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotik dan aspirin), dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi.

b) Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap penctus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronis dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.

c) Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.

D. Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhiolus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara: seseorang alergi membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal  reaksi alergi. Pada asma, antibodi ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibodi IgE orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrien), faktor kemotaktik eosinofilik, dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor ini akan menghasilkan edema lokal pada dinding bronkhiolus kecil maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkhiolus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat.

Pada asma, diameter bronkhiolus berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa menekan bagian luar bronkhiolus. Bronkhiolus sudah tersumbat sebagian maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi.pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat tetapi hanya sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesulitan mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal in dapat menyebabkan barrel chest.

E. Manifestasi Klinis
Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras. Gejala klasik: sesak nafas, mengi (wheezing), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Pada serangan asma yang lebih berat, gejala yang timbul makin banyak, antara lain: silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hiperinflasi dada, takikardi, dan pernafasan cepat-dangkal. Serangan asma sering terjadi pada malam hari.

F. Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah:
a) Status asmatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang kemudian menjadi berat dan tidak memberikan respon (refrakter) adrenalin dan atau aminofilin suntikan dapat digolongkan pada status asmatikus. Penderita harus dirawat dengan terapi yang intensif.

b) Atelektasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.

c) Hipoksemia adalah tubuh kekurangan oksigen

d) Pneumotoraks adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang menyebabkan kolapsnya paru.

e) Emfisema adalah penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran nafas karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.

G. Penatalaksanaan
Prinsip umum pengobatan asma bronkhial adalah:
a) Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segera
b) Mengenal dan menghindari faktor-faktor yang dapat mencetuskan serangan asma
c) Memberikan penerangan kepada penderita atau keluarganya mengenai penyakit asma. Meliputi pengobatan dan perjalanan penyakitnya sehingga penderita mengerti tujuan pengobatan yang diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau perawat yang merawat.
a. Pengobatan
Pengobatan pada asma bronkhial terbagi 2, yaitu:
1. Pengobatan non farmakologik
 Memberikan penyuluhan
 Menghindari faktor pencetus
 Pemberian cairan
 Fisioterapi
 Beri O₂ bila perlu

2. Pengobatan farmakologik
 Bronkodilator: obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2 golongan:
 Simpatomimetik/andrenergik (adrenalin dan efedrin)
Nama obat: Orsiprenalin (Alupent), fenoterol (berotec), terbutalin (bricasma).
 Santin (teofilin)
Nama obat: Aminofilin (Amicam supp), Aminofilin (Euphilin Retard), Teofilin (Amilex), Penderita dengan penyakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini.

3. Kromalin
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan tetapi merupakan obat pencegah serangan asma. Kromalin biasanya diberikan bersama-sama obat anti asma yang lain dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian 1 bulan.




4. Ketolifen
Mempunya efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya diberikan dosis 2 kali 1 mg/hari. Keuntungan obat ini adalah dapat diberikan secara oral.

H. Pencegahan Serangan Asma pada Anak
a) Menghindari pencetus
Cara menghindari berbagai pencetus serangan pada asma perlu diketahui dan diajarkan pada keluarganya yang sering menjadi faktor pencetus adalah debu rumah. Untuk menghindari pencetus karena debu rumah dianjurkan dengan mengusahakan kamar tidur anak:
a. Sprei, tirai, selimut minimal dicuci 2 minggu sekali. Sprei dan sarung bantal lebih sering. Lebih baik tidak menggunakan karpet di kamar tidur atau tempat bermain anak. Jangan memelihara binatang.
b. Untuk menghindari penyebab dari makanan bila belum tau pasti, lebih baik jangan makan coklat, kacang tanah atau makanan yang mengandung es, dan makanan yang mengandung zat pewarna.
c. Hindarkan kontak dengan penderita influenza, hindarkan anak berada di tempat yang sedang terjadi perubahan cuaca, misalnya sedang mendung.

b) Kegiatan fisik
Anak yang menderita asma jangan dilarang bermain atau berolah raga. namun olahraga perlu diatur karena merupakan kebutuhan untuk tumbuh kembang anak. Pengaturan dilakukan dengan cara:
a. Menambahkan toleransi secara bertahap, menghindarkan percepatan gerak yang mendadak
b. Bila mulai batuk-batuk, istirahatlah sebentar, minum air dan setelah tidak batuk-batuk, kegiatan diteruskan.
c. Adakalanya beberapa anak sebelum melakukan kegiatan perlu minum obat atau menghirup aerosol terlebih dahulu.

I. Asuhan Keperawatan
a) Pengkajian
a. Riwayat kesehatan masa lalu
 Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya
 Kaji riwayat reksi alergi atau sensitivitas terhadap zat/faktor lingkungan

b. Aktivitas
 Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernafas
 Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bentuan melakukan aktivitas sehari-hari
 Tidur dalam posisi duduk tinggi

c. Pernapasan
 Dispnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan
 Napas memburuk ketika klien berbaring telentang di tempat tidur
 Menggunakan alat bantu pernapasan, misal meninggikan bahu, melebarkan hidung.
 Adanya bunyi napas mengi
 Adanya batuk berulang

d. Sirkulasi
 Adanya peningkatan tekanan darah
 Adanya peningkatan frekuensi jantung
 Warna kulit atau membran mukosa normal/abu-abu/sianosis

e. Integritas ego
 Ansietas
 Ketakutan
 Peka rangsangan
 Gelisah

f. Asupan nutrisi
 Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan
 Penurunan berat badan karena anoreksia

g. Hubungan social
 Keterbatasan mobilitas fisik
 Susah bicara atau bicara terbata-bata
 Adanya ketergantungan pada orang lain

b) Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
 Bila disertai dengan bronkhitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah
 Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
 Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrat pada paru
 Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis local
 Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneutoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.

b. Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.

c. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru, yaitu:
 Perubahan aksis jantung, pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation
 Terdapat tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right Bundle branch Block)
 Tanda-tanda hipoksemia, yaitu terdapatnya sinus takikardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negatif.

d. Scanning Paru
Dapat diketahui bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.

e. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversibel. Pemeriksaan spirometri tdak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan.

c) Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d bronkospasme
 Tujuan: mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi bersih dan jelas
 Intervensi:
 Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, ex: mengi
 Kaji/pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi
 Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distress pernafasan, penggunaan obat
 Tempatkan klie pada posisi yang nyaman. Contoh: meninggikan kepala TT, duduk pada sandaran TT
 Pertahankan polusi lingkungan minimum. Contoh: debu, asap,dll
 Tingkatkan masukan cairan sampai dengan 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung, memberikan air hangat.
 Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat sesuai indikasi.

b. Gangguan pertukaran gas b.d gangguan suplai oksigen
 Tujuan: perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat
 Intervensi:
 Kaji/awasi secara rutin keadaan kulit klien dan membran mukosa
 Awasi tanda vital dan irama jantung
 Kolaborasi: .berikan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi hasil AGDA dan toleransi klien
 Sianosis mungkin perifer atau sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia
 Penurunan getaran vibrasi diduga adanya penggumpalan cairan/udara
 Takikardi, disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik.

c. Cemas pada orang tua dan anak b.d penyakit yang dialami anak
 Tujuan: menurunkan kecemasan pada orang tua dan anak
 Intervensi untuk orang tua:
 Berikan ketanangan pada orang tua
 Memberikan rasa nyaman
 Mendorong keluarga dengan memberikan pengertian dan informasi
 Mendorong keluarga untuk terlibat dalam perawatan anaknya
 Konsultasi dengan tim medis untuk mengetahui kondisi anaknya.

 Intervensi untuk anak:
 Bina hubungan saling percaya
 Mengurangi perpisahan dengan orang tuanya
 Mendorong untuk mengekspresikan perasaannya
 Melibatkan anak dalam bermain
 Siapkan anak untuk menghadapi pengalaman baru, misal: pprosedur tindakan
 Memberikan rasa nyaman
 Mendorong keluarga dengan memberikan pengertian informasi.
d. Risiko tinggi koping keluarga tidak efektif b.d tidak terpenuhinya kebutuhan psikososial orang tua
 Tujuan: koping keluarga kembali efektif
 Intervensi:
 Buat hubungan dengan orang tua yang mendorong mereka mengungkapkan kesulitan
 Berikan informasi pada orang tua tentang perkembangan anak
 Berikan bimbingan antisipasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan
 Tekankan pentingnya sistem pendukung
 Anjurkan orang tua untuk menyediakan waktu sesuai kebutuhan
 Bantu orang tua untuk merujuk pada ahli penyakit
 Informasikan kepada orang tua tentang pelayanan yang tersedia di masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Bets, Cecily Lynn, dkk. 2009. Buku Saku Keperewatan Pediatrik, Edisi 5. Jakarta: EGC.
Capernito, Lynda J. 2009. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis, Edisi 9. Jakarta: EGC.
Doenges, Marilynn C, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk Perencanaa dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3. Jakarta: EGC.
http://library.usu.ac.id/download/fk/keperawatan-dudut2.pdf (diakses pada tanggal 24 November 2010.
http://viethanurse.wordpress.com/2009/02/25/asuhan-keperawatan-anak-dengan-asma-bronchial/ (diakses pada tanggal 24 November 2010.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Mubin, A. Halim. 2010. Panduan Praktis Kedaruratan Penyakit Dalam, Diagnosis & Terapi. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Pernapasa. Jakarta: Salemba Medika.

Sistem Konduksi Jantung

SISTEM KONDUKSI JANTUNG

Didalam otot jantung terdapat jaringan khusus yang menghantarkan aliran listrik, jaringan tersebut mempunyai sifat-sifat yang khusus, yaitu sebagai berikut :
1. Otomatisasi : kemampuan menghasilkan impuls secara spontan
2. Ritmisasi : pembangkitan impuls yang teratur
3. Konduktifitas : kemampuan untuk menyalurkan impuls
4. Daya rangsang : kemampuan untuk menanggapi stimulasi

Berdasarkan sifat-sifat tersebut diatas, maka secara spontan dan teratur jantung akan menghasilkan impuls-impuls yang disalurkan melalui system hantar untuk merangsang otot jantung dan bisa menimbulkan kontraksi otot. Perjalanan impuls dimaulai dari nodus SA, nodus AV, sampai keserabut purkinje.


SIMPUL/NODUS SINO-ATRIAL (SA)
Simpul Sino-Atrial (SA) merupakan kepingan berbentuk sabit dari otot yang mengalami spesialisasi dengan lebar kira-kira 3 mm dan panjang 1 cm, simpul ini terletak pada dinding posterior atrium kanan tepat dibawah dan medial terhadap muara vena kava superior, serabut-serabut simpul ini masing-masing bergaris tengah 3 – 5 mikron, berbeda dengan serabut otot atrium sekitarnya yang bergaris tengah 15-20 mikron. Tetapi, serabut SA berhubungan langsung dengan serabut atrium sehingga setiap potensial alksi yang mulai pada simpul SA segera menyebar keatrium
Disebut pemacu alami karena secara teratur mengeluarkan aliran listrik impuls yang kemudian menggerakkan jantung secara otomatis. Pada keadaan normal, impuls yang dikeluarkan frekuensinya 60-100 kali/menit. Respon dari impuls SA memberikan dampak pada aktifitas atrium. SA node dapat menghasilkan impuls karena adanya sel-sel pacemaker yang mengeluarkan impuls secara otomatis. Sel ini dipengaruhi oleh saraf simpatis dan parasimpatis.
Irama otomatis serabut sinoatrial. Sebagian terbesar serabut jantung mempunyai kemampuan eksitasi sendiri suatu proses yang dapat menyebabkan berirama otomatis. Ini terutama terjadi pada serabut-serabut system penghantar peroses jantung. Bagian system ini yang terutama menunjukkan eksitasi sendiri adalah serabut simpul SA. Berdasarkan alasan ini simpul SA biasanya mengatur kecepatan denyut seluruh jantung. Serabut SA sedikit berbeda dari sebagian terbesar serabut otot jantung lainnya, yaitu hanya mempunyai potensial membrane istirahat dari 55 – 60 mvolt, dibandingkan dengan 85-95 mvolt pada sebagian terbesar serabut lainnya, potensial istirahat yang rendah ini disebabkan oleh sifat membrane yang mudah ditembus oleh ion natrium. Kebocoran natrium ini juga yang menyebabkan eksitasi sendiri dari serabut SA.

LINTASAN INTERNODAL DAN PENGHANTARAN IMPULS JANTUNG KESELURUH ATRIUM
Ujung serabut simpul SA bersatu dengan serabut otot atrium yang ada disekitarnya, dan potensial aksi yang berasal dari simpul SA berjalan keluar, masuk serabut tersebut. Dengan jalan ini, potensial aksi menyebar keseluruh masa otot atrium dan akhirnya juga kesimpul AV. Kecepatan penghantaran dalam otot atrium sekitar 0,3 meter/detik. Tetapi penghantaran sedikit lebih cepat dalam beberapa berkas kecil serabut otot atrium, sebagian diantaranya berjalan langsung dari simpul SA kesimpul AV dan menghantarkan impuls jantung dengan kecepatan sekitar 0,45-0,6 meter/detik. Lintasan ini yang dinamakan lintasan intermodal.
SIMPUL/NODUS ATRIOVENTRIKULAR (AV)
Letaknya didalam dinding septum (sekat) atrium sebelah kanan tepat diatas katup trikuspidalis dekat muara sinus koronarius, serabut simpul AV bila tidak dirangsang oleh suatu sumber dari luar ,mengeluarkan impuls dengan kecepatan berirama intrinsic 40 – 60 kali/menit. AV node mempunyai dua fungsi penting sebagai berikut :
1. Impuls jantung ditahan disini selama 0,1 atau 100 ml/detik, untuk memungkinkan pengisian ventrikel selama atrium berkontraksi
2. Mengatur jumlah impuls atrium yang mencapai ventrikel.
Penundaan penghantaran pada simpul AV, system penghantaran diatur sedemikian rupa sehingga impuls jantung tidak berjalan dari atrium ke ventrikel terlalu cepat, ini member peluang bagi atrium untuk mengosongkan isinya kedalam ventrikel sebelum kontraksi ventrikel mulai. Terutama simpul AV dan serabut penghantar penyertanya bahwa penundaan penghantaran impuls ini dari atrium ke ventrikel.

BUNDLE HIS
Berfungsi menghantarkan impuls dari nodus AV ke sistem bundle branch

BUNDLE BRANCH
Merupakan lanjutan dari bundle of his yang bercabang menjadi dua bagian berikut.
1. Right bundle branch ( RBB/ cabang kanan ), mengirim impuls ke otot jantung ventrikel kanan
2. Leaft bundle branch ( LBB/ cabang kiri ), yang terbagi dua yaitu :
a. Deviasi kebelakang (left posterior vesicle) menghantarkan impuls ke endokardium ventrikel kiri bagian posterior dan inferior
b. Deviasi kedepan (left anterior vesicle) menghantarkan impuls ke endokardium ventrikel kiri bagian anterior dan superior.

SISTEM PURKINJE
Merupakan bagian ujung dari bundle branch. Menghantarkan atau mengirimkan impuls menuju lapisan subendokard pada kedua ventrikel, sehingga terjadi depolarisasi yang diikuti oleh kontraksi ventrikel.
Serabut purkinje yang meninggalkan simpul AV melalui berkas AV dan amsuk kedalam ventrikel mempunyai sifat-sifat fungsional yang sangat berlawanan dengan sifat-sifat fungsional serabut simpul AV, serabut purkinje mengeluarkan impuls dengan kecepatan antara 20 – 40 kali/menit, serabut ini merupakan serabut yang sangat besar, bahkan lebih besar dari pada serabut otot ventrikel normal, dan serabut ini menghantarkan impuls dengan kecepatan 1,5 – 4 meter/detik, suatu kecepatan sekitar 6 kali kecepatan dalam otot jantung biasanya dan 150 kali kecepatan dalam serabut sambungan. Hal ini memungkinkanpenghantaran impuls jantung yang sangat cepat keseluruh system ventrikel.
Distribusi serabut-serabut purkinje didalam ventrikel. Serabut purkinje, setelah berasal dari dalam simpul AV, membentuk berkas AV, yang kemudian menyusup melalui jaringan fibrosa diantara katup-katup jantung dan kemudian kedalam system ventrikel. Berkas AV hamper segera membagi diri kedalam cabang-cabang berkas kanan dan kiri yang terletak di bawah endokardium sisi septum masing-masing. Tiap-tiao cabang ini berjalan kebawah menuju apeks ventrikel masing-masing, tetapi kemudian membagi menjadi cabang-cabang kecil dantersebar di sekitar tiap-tiap ruang ventrikel dan akhirnya kembali kedasar jantung sepanjang dinding lateral. Serabut Purkinje terminal menenbus massa otot untuk berakhir pada serabut otot. Dari saat inpuls jantung pertama-tama memasuki berkas AV sampai ia mencapai ujung serabut purkinje, waktu total yang berlalu hanya 0,03 detik. Jadi, sekali suatu inpuls jantung memasuki system purkinje, ia menyebar hamper dengan segera keseleruh permukaan endokardium otot ventrikel.

PENGATURAN EKSITASI DAN PENGHANTARAN DIDALAM JANTUNG
SIMPUL SA SEBAGAI PEMACU JANTUNG
Pembangkitan dan penghantaran impuls jantung keseluruh bagian jantung, dalam keadaan normal impuls muncul dari simpul SA. Tetapi ini tidak perlu terjadi dalam keadaan abnormal, karena bagian-bagian lainnya dari jantung dapat memperlihatkan kontraksi berirama dengan cara yang sama seperti serabut simpul SA, ini terutama terjadi pada simpul AV dan serabut purkinje.
Serabut simpul AV, bila tidak dirangsang oleh suatu sumber dari luar, mengeluarkan impuls dengan kecepatan berirama intrinsic 40-60 kali/menit, dan serabut purkinje mengeluarkan impuls diantara 20 – 40 kali/menit. Kecepatan ini berbeda dengan kecepatan normal simpul SA sebesar 60 -100 kali/menit


Frekwensi simpul SA jauh lebih besar dari pada simpul AV atau serabut purkinje. Setiap kali simpul SA mengeluarkan impuls, impulsnya dihantarkan ke serabut AV dan purkinje, sehingga melepaskan muatan membrane peka rangsang mereka. Kemudian semua jaringan ini, seperti juga simpul SA, kembali dari potensial aksi dan menjadi sangat terhiperpolarisasi. Tetapi simpul SA kehilangan hiperpolarisasi ini jauh lebih cepat dari pada dua lainnya dan memancarkan impuls baru sebelum salah satu dari dua lainnya dapat mencapai ambang mereka untuk eksitasi sendiri. Impuls baru ini sekali lagi melepaskan muatan simpul AV dan serabut purkinje. Proses ini berlangsung terus menerus, simpul SA selalu merangsang jaringan-jaringan lain yang mempuanyai potensi untuk eksitasi sendiri sebelum eksitasi sendiri itu dapat benar-benar terjadi. Jadi, simpul SA mengatur denyut jantung karena kecepatan impuls beriramanya lebih besar dari pada bagian jantung lainnya. Oleh karena itu, dikatakan bahwa simpul SA merupakan pemacu jantung normal.

PEMACU JANTUNG ABNORMAL (EKTOPIK)
Kadang-kadang suatu bagian jantung lain mengeluarkan impuls berirama yang lebih cepat dari pada simpul SA. Misalnya ini sering terjadi didalam simpul AV atau serabut purkinje. Dalam salah satu kasus ini, pemacu jantung beralih dari simpul SA ke simpul AV atau serabut purkinje yang pekah rangsang. Kadang;kadang suatu tempat didalam otot atrium atau ventrikel mengembangkan kepekaan berkelebihan dan menjadi pemacu jantung. Suatu pemacu jantung ditempat lain dari pada simpul SA disebut suatu pemacu jantung ektopik.

PENYEBARAN EKSITASI JANTUNG
Depolarisasi yang dimulai pada SA node disebarkan secara radial ke seluruh atrium, kemudian semuanya bertemu di AV node. Seluruh depolarisasi atrium berlangsung selama kira-kira 0,1 detik. Oleh karena itu hantaran di AV node lambat maka terjadi perlambatan kira-kira 0,1 detik (perlambatan AV node) sebelum eksitasi menyebar keventrikel. Perlambatan ini diperpendek oleh perangsangan saraf simpatis yang menuju jantung dan akan memanjang akibat perangsangan vagus. Dari punjak septum, gelombang depolarisasi menyebar secara cepat didalam serat penghantar purkinye ke semua bagian ventrikel dalam waktu 0,08-0,1 detik. Pada manusia, depolarisasi otot ventrikel di mulai pada sisi kiri septum interventrikuler dan bergerak pertama-tama kekanan menyebrangi bagian septum. Gelombang depolarisasi kemudian menyebar kebagian bawah septum menuju apeks jantung. Setelah itu kembali sepanjang dinding ventrikel ke alur AV, kemudian terus berjalan dari permukaan endokardium ke epikardium

ELEKTRO KARDIOGRAM
Sewaktu gelombang impuls berjalan melalui jantung, arus listrik menyebar kedalam jaringan disekitar jantung, dan sebagian kecil menyebar kesemua arah permukaan tubuh. Bila elektroda ditempatkan dipermukaan tubuh pada sisi yang berhadapan dengan jantung, potensial listrik yang dibangkitkan oleh jantung dapat direkam, rekaman ini dikenal sebagai elektrokardiogram (EKG).
SIFAT-SIFAT ELEKTROKARDIOGRAM
Elektrokardiogram normal terdiri dari sebuah gelombang P, sebuah kompleks QRS dan sebuah gelombang T. kompleks QRS sebenarnya merupakan 3 gelombang tersendiri, gelombang Q, gelombang R dan gelombang S, kesemuanya disebabkan oleh lewatnya impuls jantung melalui ventrikel ini. Dalam EKG yang normal, gelombang Q dan S sering sangat kurang menonjol dari pada gelombang R dan kadang-kadang tidak ada, tetapi walau bagaimanapun gelombang ini masih di kenal sebagai kompleks QRS.
- Gelombang P disebabkan oleh arus listrik yang dibangkitkan sewaktu atrium mengalami depolarisasi (kondisi dimana terjadi proses penyebaran impuls/sinyal pada jantung) sebelum berkontraksi.
- Gelombang QRS disebabkan oleh arus listrik yang dibangkitkan ketika ventrikel mengalami depolarisasi sebelum berkontraksi, oleh karena itu gelombang P dan komponen-komponen kompleks QRS adalah gelombang/fase depolarisasi.
• Gelombang Q : defleksi (merupakan penyebaran proses depolarisasi) negatif pertama sesudah gelombang P dan yang mendahului defleksi R, dibangkitkan oleh depolarisasi permulaan ventrikel.
• Gelombang R : defleksi positif pertama sesuadah gelombang P dan yang ditimbulkan oleh depolarisasi utama ventrikel.
• Gelombang S : defleksi negatif sesudah defleksi R.
- Gelombang T disebabkan oleh arus listrik yang dibangkitkan sewaktu ventrikel kembali dari keadaan depolarisasi, proses ini terjadi didalam otot ventrikel sekitar 0,25 detik setelah depolarisasi, dan gelombang ini dikenal sebagai suatu gelombang repolarisasi (kondisi dimana otot-otot jantung tidak melakukan aktifitas/istirahat)


VOLTASE DAN KALIBRASI WAKTU PADA ELEKTROKARDIOGRAM
Interval P – Q jangka waktu diantara permulaan gelombang P dan permulaan gelombang QRS adalah interval diantara permulaan konraksi atrium dan permulaan kontraksi permulaan ventrikel. Periode waktu ini disebut interval P – Q. interval ini normalnya sekitar 0,16 detik, interval ini kadang-kadang juga disebut Interval P – R gelombang Q sering tidak ada.
Interval Q – T. kontraksi ventrikel pada dasarnya berlangsung diantara permulaan gelombang Q dan akhir gelombang T, interval waktu ini disebut interval Q – T dan biasanya kira-kira 0,30 detik.


DAFTAR PUSTAKA

Guyton, Arthur C. 1996. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. EGC : Jakarta
Muttaqin, Arif. 2009. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Ganguan Sistem Kardiovaskuler dan Hematologi. Salemba Medika : Jakarta
Pricet, A Silvia, dkk. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Buku 1 Edisi IV. EGC : Jakarta
Dr.Agung Nugroho
- http//: www. scribd.com/ Sistem Kardiovaskuler/ diakses tanggal 30 Oktober 2010

Jumat, 10 Desember 2010

Askep Endometriosi

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Endometriosis adalah suatu penyakit yang lazim menyerang wanita di usia reproduksi. Penyakit ini merupakan kelainan ginekologis yang menimbulkan keluhan nyeri haid, nyeri saat senggama, pembesaran ovarium dan infertilitas. Endometriosis terjadi ketika suatu jaringan normal dari lapisan uterus yaitu endometrium menyerang organ-organ di rongga pelvis dan tumbuh di sana. Jaringan endometrium yang salah tempat ini menyebabkan iritasi di rongga pelvis dan menimbulkan gejala nyeri serta infertilitas.

Jaringan endometriosis memiliki gambaran bercak kecil, datar, gelembung atau flek-flek yang tumbuh di permukaan organ-organ di rongga pelvis. Flek-flek ini bisa berwarna bening, putih, coklat, merah, hitam, atau biru. Jaringan endometriosis dapat tumbuh di permukaan rongga pelvis, peritoneum, dan organ-organ di rongga pelvis, yang kesemuanya dapat berkembang membentuk nodul-nodul. Endometriosis bisa tumbuh di permukaan ovarium atau menyerang bagian dalam ovarium dan membentuk kista berisi darah yang disebut sebagai kista endometriosis atau kista coklat. Kista ini disebut kista coklat karena terdapat penumpukan darah berwarna merah coklat hingga gelap. Kista ini bisa berukuran kecil seukuran kacang dan bisa tumbuh lebih besar dari buah anggur. Endometriosis dapat mengiritasi jaringan di sekitarnya dan dapat menyebabkan perlekatan (adhesi) akibat jaringan parut yang ditimbulkannya.

Endometriosis terjadi pada 10-14% wanita usia reproduksi dan mengenai 40-60% wanita dengan dismenorhea dan 20-30% wanita subfertil. Saudara perempuan dan anak perempuan dari wanita yang menderita endometriosis berisiko 6-9 kali lebih besar untuk berkembang menjadi endometriosis. Endometriosis menyebabkan nyeri panggul kronis berkisar 70%. Risiko untuk menjadi tumor ovarium adalah 15-20%, angka kejadian infertilitas berkisar 30-40%, dan risiko berubah menjadi ganas 0,7-1%. Endometriosis sekalipun sudah mendapat pengobatan yang optimum memiliki angka kekambuhan sesudah pengobatan berkisar 30%.
Penanganan endometriosis baik secara medikamentosa maupun operatif tidak memberikan hasil yang memuaskan disebabkan patogenesis penyakit tersebut belum terungkap secara tuntas. Keberhasilan penanganan endometriosis hanya dapat dievaluasi saat ini dengan mempergunakan laparoskopi. Laparoskopi merupakan tindakan yang minimal invasif tetapi memerlukan keterampilan operator, biaya tinggi dan kemungkinan dapat terjadi komplikasi dari yang ringan sampai berat. Alasan yang dikemukakan tadi menyebabkan banyak penderita endometriosis yang tidak mau dilakukan pemeriksaan laparoskopi untuk mengetahui apakah endometriosis sudah berhasil diobati atau tidak.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang di maksut dengan endometritis ?
2. Bagaimana konsep medis dari ndometritis ?
3. Bagaimana ASKEP dari endometritis ?

C. Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah iniadalah :
1. Untuk mengetahui Pengertian dari endometritis
2. Untuk mengetahui konsep medis dari endometritis
3. Untuk mengetahui ASKEP dariu endometritis

BAB II
KONSEP MEDIS

A. Pengertian
Endometriosis merupakan suatu kondisi yang dicerminkan dengan keberadaan dan pertumbuhan jaringan endometrium di luar uterus. Jaringan endometrium itu bisa tumbuh di ovarium, tuba falopii, ligamen pembentuk uterus, atau bisa juga tumbuh di apendiks, colon, ureter dan pelvis.

B. Etiologi
Ada beberapa faktor resiko penyebab terjadinya endometriosis, antara lain:
a. Wanita usia produktif ( 15 – 44 tahun )
b. Wanita yang memiliki siklus menstruasi yang pendek (<27 hari) 3 Menstruasi yang lama (>7 hari)
c. Spotting sebelum menstruasi
d. Peningkatan jumlah estrogen dalam darah
e. Keturunan : memiliki ibu yang menderita penyakit yang sama.
f. Memiliki saudara kembar yang menderita endometriosis
g. Terpapar Toksin dari lingkungan
Biasanya toksin yang berasal dari pestisida, pengolahan kayu dan produk kertas, pembakaran sampah medis dan sampah-sampah perkotaan.

C. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala endometriosis antara lain :
a. Nyeri :
a) Dismenore sekunder
b) Dismenore primer yang buruk
c) Dispareunia
d) Nyeri ovulasi
e) Nyeri pelvis terasa berat dan nyeri menyebar ke dalam paha, dan nyeri pada bagian abdomen bawah selama siklus menstruasi.
f) Nyeri akibat latihan fisik atau selama dan setelah hubungan seksual
g) Nyeri pada saat pemeriksaan dalam oleh dokter

b. Perdarahan abnormal
a) Hipermenorea
b) Menoragia
c) Spotting sebelum menstruasi
d) Darah menstruasi yang bewarna gelap yang keluar sebelum menstruasi atau di akhir menstruasi

c. Keluhan buang air besar dan buang air kecil
a) Nyeri sebelum, pada saat dan sesudah buang air besar
b) Darah pada feces
c) Diare, konstipasi dan kolik

D. Patofisiologi
Endometriosis dipengaruhi oleh faktor genetik. Wanita yang memiliki ibu atau saudara perempuan yang menderita endometriosis memiliki resiko lebih besar terkena penyakit ini juga. Hal ini disebabkan adanya gen abnormal yang diturunkan dalam tubuh wanita tersebut.

Gangguan menstruasi seperti hipermenorea dan menoragia dapat mempengaruhi sistem hormonal tubuh. Tubuh akan memberikan respon berupa gangguan sekresi estrogen dan progesteron yang menyebabkan gangguan pertumbuhan sel endometrium. Sama halnya dengan pertumbuhan sel endometrium biasa, sel-sel endometriosis ini akan tumbuh seiring dengan peningkatan kadar estrogen dan progesteron dalam tubuh. Faktor penyebab lain berupa toksik dari sampah-sampah perkotaan menyebabkan mikoroorganisme masuk ke dalam tubuh. Mkroorganisme tersebut akan menghasilkan makrofag yang menyebabkan resepon imun menurun yang menyebabkan faktor pertumbuhan sel-sel abnormal meningkat seiring dengan peningkatan perkembangbiakan sel abnormal.
Jaringan endometirum yang tumbuh di luar uterus, terdiri dari fragmen endometrial. Fragmen endometrial tersebut dilemparkan dari infundibulum tuba falopii menuju ke ovarium yang akan menjadi tempat tumbuhnya. Oleh karena itu, ovarium merupakan bagian pertama dalam rongga pelvis yang dikenai endometriosis. Sel endometrial ini dapat memasuki peredaran darah dan limpa, sehingga sel endomatrial ini memiliki kesempatan untuk mengikuti aliran regional tubuh dan menuju ke bagian tubuh lainnya. Dimanapun lokasi terdapatnya, endometrial ekstrauterine ini dapat dipengaruhi siklus endokrin normal. Karena dipengaruhi oleh siklus endokrin, maka pada saat estrogen dan progesteron meningkat, jaringan endometrial ini juga mengalami perkembangbiakan. Pada saat terjadi perubahan kadar estrogen dan progesteron lebih rendah atau berkurang, jaringan endometrial ini akan menjadi nekrosis dan terjadi perdarahan di daerah pelvic.

Perdarahan di daerah pelvis ini disebabkan karena iritasi peritonium dan menyebabkan nyeri saat menstruasi (dysmenorea). Setelah perdarahan, penggumpalan darah di pelvis akan menyebabkan adhesi/perlekatan di dinding dan permukaan pelvis. Hal ini menyebabkan nyeri, tidak hanya di pelvis tapi juga nyeri pada daerah permukaan yang terkait, nyeri saat latihan, defekasi, BAK dan saat melakukan hubungan seks.

Adhesi juga dapat terjadi di sekitar uterus dan tuba fallopii. Adhesi di uterus menyebabkan uterus mengalami retroversi, sedangkan adhesi di tuba fallopii menyebabkan gerakan spontan ujung-ujung fimbriae untuk membawa ovum ke uterus menjadi terhambat. Hal-hal inilah yang menyebabkan terjadinya infertil pada endometriosis.

E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dilakukan untuk membuktikan adanya endometirosis ini antara lain:
a. Uji serum
a) CA-125
Sensitifitas atau spesifisitas berkurang
b) Protein plasenta
Mungkin meningkat pada endometriosis yang mengalami infiltrasi dalam, namun nilai klinis tidak diperlihatkan.
c) Antibodi endometrial
Sensitifitas dan spesifisitas berkurang

b. Teknik pencitraan
a) Ultrasound
Dapat membantu dalam mengidentifikasi endometrioma dengan sensitifitas 11%
b) MRI
90% sensitif dan 98% spesifik
c) Pembedahan
Melalui laparoskopi dan eksisi.

F. Komplikasi
a. Obstruksi ginjal dan penurunan fungsi ginjal karena endometriosis dekat kolon atau ureter
b. Torsi ovarium atau rupture ovarium sehingga terjadi peritonitis karena endometrioma
c. Pneumotoraks karena eksisi endometriosis

G. Diagnosis
Klasifikasi endometriosis menurut Acosta :
a. Ringan, yaitu endometriosis yang menyebar tanpa perlekatan pada anterior atau posterior kavun Duoglasi, peritoniun pelviks atau permukaan ovarium.
b. Sedang, yaitu :
a) Endometriosis pada satu atau dua ovarium dengan parut dan retraksi atau endometrioma kecil.
b) Perlekatan minimal sekitar ovarium dengan ovarium yang mengalami endometriosis.
c) Endometriosis pada anterior atau posterior kavum Douglasi dengan parut dan retraksi atau perlekatan tanpa menyerang sigmoid

c. Berat, yaitu :
a) Endometriosis pada satu atau dua ovarium dengan ukuran lebih dari 2 X 2 cm.
b) Perlakatan satu atau dua ovarium, tuba atau kavum Douglasi karena endometriosis.
c) Keterlibatan usus dan traktus urinarius yang nyata.

Berdasarkan klasifikasi AFS, endometriosis dibagi menjadi 4kelompok, yaitu :
a) Stadium I ( minimal ) : 1 - 5
b) Stadium II ( ringan ) : 6 - 15
c) Stadium III ( sedang ) : 16 - 40
d) Stadium IV ( Berat ) : > 40

Penilaian Stadium Endometriosis
Endometriosis Nilai
1 cm 1 – 3 cm 3 cm
Peritonim : - superfisial
- Dalam 1 2 4
2 4 6
Ovarium : Kanan : - Tipis
- Tebal
Kiri : - Tipis
- Tebal 1 2 4
4 16 20
1 2 4
4 16 20
Perlekatan 1/3 bagian 1/3 – 2/3 bagian 2/3 bagian
Ovarium : Kanan : - Tipis
- Tebal
Kiri : - Tipis
- Tebal 1 2 4
4 8 16
1 2 4
4 8 16
Tuba Kanan : - Tipis
- Tebal
Kiri : - Tipis
- Tebal 1 2 4
4 8 16
1 2 4
4 8 16
Kavum Douglas Sebagian Seluruhnya
4 40

H. Diagnosis Banding
a. Tumor Ovarium
b. Metastasis di kavum Douglas
c. Mioma Multipel
d. Karsinoma Rektum
e. Radang pelvis

I. Terapi
Terapi yang dilakukan ditujukan untuk membuang sebanyak mungkin jaringan endometriosis, antara lain:
a) Pengobatan Hormonal
Pengobatan hormaonal dimaksudkan untuk menghentikan ovulasi, sehingga jaringan endometriosis akan mengalami regresi dan mati. Obat-obatan ini bersifat pseudo-pregnansi atau pseudo-menopause, yang digunakan adalah :
 Derivat testosteron, seperti danazol, dimetriose
 Progestrogen, seperti provera, primolut
 GnRH
 Pil kontrasepsi kombinasi

b) Pembedahan
Bisa dilakukan secara laparoscopi atau laparotomi, tergantung luasnya invasi endometriosis.

J. Prognosis
Pada pasien yang mengalami pembedaha defenitif, 3 % akan mengalami endometriosis kembali. Sedangkan pasien yang mengalami pembedahan konservatif, 10 % akan menderitan kembali 3 tahun pertam dan 35 % pada 5 tahu pertama. Pemeriksaan CA 125 secara varsial mungkin berguna untu memperkirankan kemungkinan rekulensi setelah terapi

BAB III
ASUHAN KEPERAWATA
A. Pengkajian
a. Riwayat Kesehatan Dahulu
a) Pernah terpapar agen toksin berupa pestisida, atau pernah ke daaerah pengolahan katu dan produksi kertas, serta terkena limbah pembakaran sampah medis dan sampah perkotaan.

b. Riwayat kesehatan sekarang
a) Dysmenore primer ataupun sekunder
b) Nyeri saat latihan fisik
c) Dispareunia
d) Nyeri ovulasi
e) Nyeri pelvis terasa berat dan nyeri menyebar ke dalam paha, dan nyeri pada bagian abdomen bawah selama siklus menstruasi.
f) Nyeri akibat latihan fisik atau selama dan setelah hubungan seksual
g) Nyeri pada saat pemeriksaan dalam oleh dokter
h) Hipermenorea
i) Menoragia
j) Feces berdarah
k) Nyeri sebelum, sesudah dan saat defekasi.
l) konstipasi, diare, kolik.

c. Riwayat kesehatan keluarga
a) Memiliki ibu atau saudara perempuan (terutama saudara kembar) yang menderita endometriosis.

d. Riwayat obstetri dan menstruasi
a) Mengalami hipermenorea, menoragia, siklus menstruasi pendek, darah menstruasi yang bewarna gelap yang keluar sebelum menstruasi atau di akhir menstruasi.

e. Aktifitas dan istirahat
Gejala
a) Kelemahan atau keletihan akibat anaemia
b) Perubahan pola istirahat dan kebiasaan tidur pada malam hari
c) Adanya foktor – factor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas dan keringat malam
d) Pekerjaan atau profesi dengan penajaman karsinogen lingungan dan tingkat sters tinggi
f. Integritas Ego
Gejala : factor stress, merokok, minum alcohol, menunda mencari pengobatan, keyakinan religious atau spiritual, masalah tentang lesi cacat, pembedahan, menyngakal diagnosis dan perasaan putus asa

g. Eliminasi
Perubahan pada pola defekasi, perubahan eliminasi urinalis, misalnya masalah nyeri

h. Makanan dan Minuman
Kebiasaan diet buruk ( misalnya : rendah serat, tinggi lemak, adiktif, bahan pengawet rasa )

i. Neurosensori
Gejala : pusing, singkope

j. Nyeri atau Kenyamanan
Gejala : adanya nyeri derajat bervariasi, misalnya ketidaknyamana ringan sampai nyeri berat

k. Pernapasan
Gejala : merokok, pemajanan abses

l. Keamana
Gejala : pemajanan pada zat kimia toksik, karsinogen
Tanda : demam, ruam kulit, ulserasi

m. Seksualitas
Gejala : perubahan pola respomn seksual

n. Interaksi social
Gejala : ketidaknyamanan atau kelemahan system pendukung.

B. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :
a. Gangguan rasa nyaman: nyeri b.d gangguan menstruasi, proses penjalaran penyakit.
b. Resiko gangguan harga diri b.d infertilitas
c. Cemas b.d diagnosis kanker, takut akan rasa nyeri, kehilangan feminitas dan perubahan bentuk tubuh


C. Intervensi Keperawatan
a. Gangguan rasa nyaman : nyeri b.d gangguan menstruasi, proses penjalaran penyakit
a) Di tandai dengan :
 Keluhan nyeri
 Memfokuskan pada diri sendiri atau penyempitan focus
 Distraksi atau perlakuan hati-hati
 Gelisah
b) Tujuan : nyeri hilang/berkurang
c) Kriteria Hasil :
 Klien mengekspresikan penurunan nyeri/ ketidaknyamanan
 Klien tampak rileks, dapat tidur dan istirahat dengan tepat
d) Intervensi
 Tentukan riwayat nyeri, misalnya lokasi nyeri, frekuensi, durasi, dan intensitas ( skala 0 - 10 ), serta tindakan kehilangan yang digunakan
Rasiaonal
Informasi member data dasar untuk mengevaluasi kebutuhan atau keevektifan evaluasi
 Berikan tindakan kenyamana dasar (misalnya: reposisi, gosokkan punggung) dan aktifitas hiburan ( misalnya: music dan televise ).
Rasional
Meningkatkan relaksasi dan membantu menfokuskan kembali perhatian
 Palpasi kandung kemih, sedik,it keluhan merasa ketidaknyamanan dalam berkemih
Rasional
Persepsi kandung kemih penuh, distensi kandung kemih di atas simfisis pubis menunjukkan retensi urin

b. Resiko gangguan harga diri b.d infertilitas
a) Dibuktikan dengan
 Mengungkapakan perubahan dalam gaya tentang tubuh, perasaan tidak berdaya, putus asa dan ketidak mampuan
 Tidak mengambil tanggun jawab untuk perawatan diri, kurang mengikuti perubahan pada persepsi diri atau persepsi orang lain tentang peran
b) Tujuan : meningkatkan harga diri klien
c) Kriteria Hasil : klien mengungkapkan pemahaman tentang perubahan tubuh, penerimaan diri dalam situasi yang sedang dialami
d) Intervensi
 Motivasi diskusi tentang atau pecahkan masalah tentang efek kankar atau pengobatan pada peran sebagai ibu rumah tangga, orang tua dan sebagainya.
Rasional
Dapat membantu menurunkan masalah yang memengaruhi penerimaan pengobatan atau merangngsang kemajuan penyakit
 Akui kesulitan klien yang mungkin dialami, berikan informasi bahwa konseling sering perlu dan penting dalam proses adaptasi
Rasional
Memvalidasi perasaan ibu dan memberikan izin, untuk tindakan apa pun perlu untuk mengatasi apa yang terjadi.

c. Cemas b.d diagnosis kanker, takut akan rasa nyeri, kehilangan feminitas dan perubahan bentuk tubuh
a) Dibuktikan dengan
 Peningktan ketegangan, gemetaran, ketakutan dan gelisah
 Mengekspresikan masalah mengenai perubahan dalam kejadian hidup
b) Tujuan : rasa cemas klien hilang atau tidak cemas lagi
c) Kriteria hasil : menunjukkan rentang yang tepat dari perasaan dan berkurangnya rasa takut
d) Intervensi
 Tinjau ulang pengalaman klien atau orang terdekat sebelumnya yang kenker.
Rasional
Membantu dalam identifikasi rasa takut dan kesalahan konsep berdasarkan pada pengalam pada kanker
 Berikan dukungan emosi pada klien atau orang terdekat selama tes diagnostic dan fase pengobatan


Rasional
Meskipun mampu beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan efek kanker atau efek semping terapi banyak klien memerlukan dukungan tambahan selama peride ini
 Rujuk ibi atau orang terdekat pada program kelompok ( bila ada )
Rasional
Kelompok pendukung biasanya sangat menguntungkan, baik untuk klien maupun orang terdekat, memberikan kontak dengan ibu denagn kanker pada berbagia tingkat pengobatan dan pemulihan
 Rujuk pada konseling professional bila diindikasikan
Rasional
Mungtkin perlu untuk memulai dan mempertahankan struktur psikososial positif bila system pendukung orang terdekat ibu terganggu.

D. Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sesuai dengan yang telah direncanakan, mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi.

Tindakan mandiri adalah tindakan keperawatan berdasarkan analisis dan kesimpulan perawat dan bukan atas petunjuk tenaga kesehatan lain.

Tindakan kolaborasi adalah tindakan keperawatan yang yang didasarkan oleh hasil keputusan bersama dengan dokter atau petugas kesehatan lain.

E. Evaluasi
Evaluasi merupakan hasil perkembangan klien dengan berpedoman pada hasil dan tujuan yang hendak dicapai.


DAFTAR PUSTAKA
Ayu, Ida, dkk. 2009. Memahami Reproduksi Wanita, Edisi 2. Jkarta : EGC
Doenges, Marilynn C, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk Perencanaa dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
http://agungnurse.blogspot.com/feeds/posts/default?orderby=updated. ( di akses pada tanggal 4 Desember 2010 )
http://blog.ilmukeperawatan.com/asuhan-keperawatan-klien-dengan-endometriosis.html. ( di akses pada tanggal 4 desember 2010 )
http://www.scribd.com/doc/21973037/Kista-Endometriosis. ( di akses pada tanggal 4 Desember 2010 )
Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran UI.
Mitiyani. 2009. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta : Salemba Medika
Rawyroharjdo, Sarwono. 2008. Ilmu Kandungan. Jakarta : Bina Pustaka
Rawyroharjdo, Sarwono. 2008. Ilmu Kebidana. Jakarta : Bina Pustaka